Situ Gunung Dan Curug Sawer, Naik Naik Ke Puncak
Akhirnya bisa jalan-jalan lagi! Saya dan suami memilih Situ Gunung untuk menghabiskan liburan Natal kali ini. Berbekal banyak blog yang saya baca, tak membuat informasi yang saya dapat juga banyak. Kenapa? Mereka menulisnya secara kopi paste, berisi sampah dan bukan informasi. Damn. Beberapa nomer telpon dan handphone yang saya dapat dari membuka dan menelusuri berpuluh-puluh halaman Google, tak satupun nyambung. Memang saya juga sadar, dengan sistem nomer handphone di Indonesia yang tinggal buang dan ganti semudah itu, maka nomer handphone yang diberikan satu bulan lalu, tak menjamin masih aktif bulan berikutnya. Padahal kalau pihak-pihak yang terkait dengan tempat wisata menyadari, nomer handphone itu justru aset mereka. Jualan dari mana lagi kalau akses informasi terputus gara-gara gonta-ganti nomer handphone?
Yang terpenting, kami mempelajari petanya dan transportasi menuju ke sana. Berbekal rasa yakin bahwa penginapan akan mudah dicari setelah tiba di lokasi, kami berangkat dari rumah sekitar jam tujuh pagi menuju terminal Lebak Bulus. Hampir semua blogger yang akan berangkat ke Situ Gunung menaiki bus dari terminal Kampung Rambutan. Tetapi saya baca-baca tulisan tentang transportasi menuju Sukabumi, ada sebuah bus yang berangkat ke sana dari Lebak Bulus. Karena rumah lebih dekat ke Lebak Lubus, makanya saya memilih yang Lebak Bulus. Oiya, bus yang dari Lebak Bulus ini adalah mini bus AC dengan nama Parung Indah. Kalau yang dari Kampung Rambutan, kebanyakan yang tak ber-AC. Tarif dari Lebak Bulus menuju Cisaat, Sukabumi adalah Rp. 21.000,- per orang. Meski AC tak begitu dingin, lumayanlah, setidaknya kondisi di dalam bus tak begitu panas.
Macet kadang menyebalkan, tapi kadang membawa kebahagiaan juga. Karena kondisi jalan di beberapa ruas yang seharusnya kami lalui macet, sang sopir yang selalu terkoneksi dengan beberapa rekannya melalui handphone, mengalihkan arah menjadi melewati jalan-jalan alternatif dengan pemandangan yang indah! Kami jadi melewati Tajur, Bogor dan kemudian berbelok arah melalui Tapus, sebelum akhirnya masuk ke arah Sukabumi. Di Cisaat juga macetnya ampun-ampunan, sehingga yang seharusnya dalam waktu tiga jam sampai, kami harus menempuhnya dalam waktu 4,5 jam. Di pertigaan Cisaat, jalan dulu seratusan meter untuk mendapatkan angkot merah yang akan mengantar sampai ke depan pintu gerbang Situ Gunung. Agak geram juga dengan penduduk lokal yang hanya membayar Rp. 2.000,- untuk sebuah perjalanan 30 menit mendaki gunung! Kasihan juga para sopir angkot ini, batin saya. Rp. 5.000,- per orang saya bayarkan.
Situ Gunung masuk dalam pengelolaan Taman Nasional Gede Pangrango. Tarif masuk di pintu gerbang adalah Rp. 2.500,- dan tarif asuransi kecelakaan diri pengunjung dari Wana Artha Life sebesar Rp. 500,- Sebenernya kalau ngomong asuransi sih, boleh kan kita nggak ambil, tapi petugas di pintu gerbang seolah-olah nggak memberikan pilihan kepada kita dan terkesan memaksa, bahwa yang harus kita bayar adalah Rp. 3.000,- hehehe..
Dari pintu gerbang, jika pilihannya akan menuju danau, maka pilihlah jalan yang ke arah kiri. Naik-naik ke gunung, lumayan jauh dengan kondisi jalan 100% berbatu dan agak licin kalau hujan (saya tiba pas hujan). Ada papan petunjuk jalan, ke kiri masuk ke Rakata Tanakita (yang tarif per hari per orangnya Rp. 500.000,-) dan arah danau masih lurus saja. Napas mulai ngos-ngosan, tapi untunglah sepertinya sudah dekat ketika melihat serombongan ojeg mangkal di tepi danau. Selain jalan kaki, memang ada alternatif naik ojeg dari dan menuju danau. Tetapi karena saya dan bayi dalam perut nggak mau terguncang-guncang di atas motor yang melaju di jalanan dengan batu-batu mencuat, saya pilih jalan kaki saja.
Dan perkiraan saya tak salah. Penginapan yang ada di depan danau Situ Gunung ini sepi! Tak terlihat ada rombongan yang menginap di sana, padahal ini adalah musim liburan anak sekolah, sekaligus libur 3 hari karena perayaan Natal. Suami segera mencari orang yang bertanggung jawab untuk menyewakan penginapan, karena di depan ruangan yang terlihat seperti kantor dan aula, kosong. Bertemulah kami dengan penjaga yang menunjukkan dua tipe penginapan, yaitu dengan tarif Rp. 600.000,- per malam dan Rp. 400.000,- per malam. Kami memilih yang Rp. 400.000,- saja karena sudah terlihat cukup nyaman.
Dengan tarif penginapan Rp. 400.000,- per malam, kami mendapatkan dua buah kasur busa dilengkapi dengan sleeping bag sebagai selimutnya. Ruangan wisma ini berukuran 3,5 x 6 meter persegi (hasil menghitung ubin keramik), dengan sebuah kamar mandi di dalamnya. Kamar mandi tersebut lantainya beralaskan batu-batu seperti di pantai. Kami juga disediakan satu galon air minum dan dispensernya. Untung pada saat di Cisaat, saya sempat membeli berbagai macam makanan kecil dan mie instan cup. Bawa sendiri bekal karena di atas akan kesulitan kalau harus bolak-balik ke warung yang lokasinya jauh dari danau. Buat yang perlu uang cash, di Cisaat di pas pertigaan ada Indomart yang di dalamnya terdapat ATM.
Sesampainya di penginapan, yang ada saya malah kedinginan! Masuk ke dalam sleeping bag, dan istirahat. Sejam kemudian suami ke danau untuk foto-foto hingga lepas maghrib, saya sendiri tetap di dalam penginapan. Di tepi danau, banyak pengunjung mulai dari rombongan ABG, keluarga-keluarga sampai orang-orang dengan hobi memancing. Ada juga yang naik sampan atau perahu, berkeliling ke tengah danau. Penjual souvenir juga terlihat di sana. Ini sih cerita dari suami ya, karena saya tetep cuma tiduran di dalam kamar, hihihi…
Makan malamnya kami pesan sejak sore harinya untuk dibelikan oleh penjaga wisma. Karena kalau jalan kaki turun lagi jauh, dan untungnya penjaga wisma baik hati mau menolong, saya minta dibungkuskan dua kotak nasi dan sayur seadanya. Dengan sayur, oseng tempe, sambel dan sepotong kecil ayam, sudah cukup membuat kenyang malam itu, Rp. 30.000,- harganya.
Tengah malam kedengeran suara berisik dari samping penginapan, rupanya ada sepuluh orang datang malam itu masuk dalam satu kamar. Penjaga wisma memang menyatakan, bahwa tarif Rp. 400.000,- per malam ini bisa dipakai untuk maksimal 10 orang dalam satu kamar! Buat yang mau ngirit, bisa jalan-jalan bareng temen-temennya seperti tetangga kamar kami.
Bangun pagi, cuaca tetap nggak bersahabat. Sisa hujan semalam, gerimis masih ada hingga pagi hari. Saya biarkan suami keluar sendirian nenteng payung dan kamera buat foto-foto. Saya kunci kamar dan nyalain laptop buat nyortir foto hasil jepretan suami kemarin sore. Mau online tentu saja nggak bisa, karena di wisma depan danau Situ Gunung nggak ada sinyal. Telkomsel dan Indosat mati. Bosen lihat-lihat foto, ya tidur lagi. Kapan lagi bisa tidur di tempat yang sejuk dan tanpa polusi ini?
Tak berapa lama suami pulang dengan membawa pacet yang menempel di kaki. Karena nggak ngerokok, terpaksa saya nyari puntung di bak sampah wisma sebelah. Untung tetangga kamar ada banyak orang, jadi nggak susah nyari puntung rokok. Pacet pun dengan mudah dilepaskan dari kaki dan meninggalkan bekas gigitan yang berdarah.
Setelah itu, kami berdua memutuskan untuk jalan ke Curug Sawer. Hasil tanya-tanya sama pedagang makanan di sekitar danau, ditunjukkan jalan dari dekat mushola yang ada di danau. Kami naik melewati tangga-tangga batu yang seperti tak berujung. Setelah dua kali tanjakan, kami berbelok ke kiri, menanjak lagi, dan akhirnya turun. Jalanan menurun berbelok memutar ini rupanya belum berakhir, karena harus ke kiri dan menanjak lagi. Dua jam kami naik turun bukit yang bikin kaki berasa sedikit kram. Sesekali saya mengelus perut, berbisik mudah-mudahan dia baik-baik saja.
Sesampainya di air terjun, rasa lelah langsung hilang. Batu-batuan di bawah air terjun lumayan licin, sehingga saya harus ekstra hati-hati ketika akan duduk di atasnya untuk diambil fotonya sama suami. Kaki terasa dingin seperti masuk ke dalam air es ketika menyentuh air terjun Curug Sawer ini. Beberapa pengunjung terlihat nekat mandi-mandi di aliran sungainya, padahal dinginnya minta ampun. Saya nggak mau basah-basahan karena dari awal memang sudah membayangkan airnya pasti dingin sekali.
Puas main-main di air terjun, saya dan suami sarapan pagi di warung yang berada dekat dengan pintu masuk Curug Sawer. Namanya di puncak gunung, cuma makan mie rebus dengan telur dan segelas kopi berdua habis Rp. 25.000,- Ya, lumayanlah buat mengganjal perut. Untung di dalam tas tadi sempat bawa roti dan air mineral serta dua box susu kotak siap minum.
Dua jam berikutnya tentu saja kami habiskan untuk jalan kaki lagi naik turun gunung menyusuri jalanan yang sama. Sesampainya di wisma, dari penghuni kamar sebelah baru kami tau ternyata ada jalur yang lebih landai, tetapi lebih jauh. Jalan berputar, tapi tidak perlu naik turun gunung. Pantas, ada juga jasa tukang ojeg yang siap mengatar dari dan ke Curug Sawer. Kalau melalui jalur yang kami lalui, tidak mungkin sepeda motor bisa lewat.
Sesampainya di penginapan, saya dan suami siap-siap mandi. Rencananya setelah mandi, akan istirahat sebentar dan melanjutkan dengan jalan ke air terjun satu lagi, Curug Cimanaracun. Rupanya, rencana tinggal rencana karena hujan deras tiba-tiba datang. Ya sudah, batal deh. Pas mau mandi, buka baju, di lengan suami ada pacet satu lagi sudah segede jempol! Ini pasti nempelnya dari pagi tadi dan nggak ketahuan pas pacet yang di kaki dilepas. Saya akhirnya minta puntung lagi ke tetangga sebelah buat nglepas pacet yang di lengan. Bekas gigitannya itu membuat darah nggak berhenti ngucur kira-kira sejam lamanya. Ngeri bener.
Hujan nggak berhenti juga sampai jam 3. Saya dan suami sudah harus pulang kembali ke Jakarta. Saya pamitan ke penjaga sekaligus meminta nomer kontak yang bisa dihubungi. Pengalaman kalau pulang dari jalan-jalan dan menulis di blog, bakalan ada banyak yang tanya-tanya soal penginapan dan segala macam yang berhubungan dengan harga-harga. Kontak yang bisa dihubungi di Situgunung Park adalah 087820519429 atau 08128054612 (Ical). Email mereka situgunungpark@yahoo.com.
Jalan kaki turun gunung di tengah gerimis berdua, sebenernya nggak romantis. Udah cape bo’. Dan kami lupa bertanya, jam berapa angkot merah terakhir ada! Celingak-celinguk, rupanya sudah nggak ada angkot lagi yang sampai di depan pintu gerbang. Terpaksa jalan kaki turun sampai di depan lapangan, baru bisa nemu angkot. Di Cisaat, baru kami makan siang yang sudah telat. Hampir jam 5 sore, melahap nasi Padang. Suami nambah nasi, saya lauknya dobel. Nyaammm.
Di pinggir jalan, nungguin bus dari Sukabumi yang akan menuju Jakarta, rupanya setelah jam 5 udah nggak ada lagi. Daripada kemalaman, akhirnya kami naik Elf saja yang jurusan Bogor. Macet total di dalam kota Bogor, sampai di terminal sudah jam 9. Bus jurusan Lebak Bulus sudah habis, sisa tujuan Tanjung Priok dan Bekasi saja. Kami naik tujuan Bekasi dan turun di Pasar Rebo. Biaya Elf Sukabumi Bogor berdua Rp. 24.000,- sedang bus Bogor – Pasar Rebo Rp. 14.000,- Dilanjutkan naksi sampai rumah Rp. 60.000,- karena udah cape.
Kalau ada pertanyaan “Gimana, seneng jalan-jalannya?” Jawabannya jelas: Senang! Kalau cuma baca tulisan ini saja, dijamin nggak seru karena nggak ngalamin sendiri. Ayo, siapa mau ikut jalan-jalan selanjutnya? Kalau nggak ada halangan, kota Malang tujuan kami.
Catatan:
Pengeluaran selama perjalanan (untuk 2 orang):
Bus Lebak Bulus – Sukabumi Rp. 42.000,-
Beli tahu di jalan Rp. 5.000,-
Angkot Merah Cisaat – Situ Gunung (pp) Rp. 20.000,-
Tiket masuk Situ Gunung Rp. 6.000,-
Beli makanan kecil Rp. 100.000,-
Penginapan Rp. 400.000,-
Makan malam Rp. 30.000,-
Sarapan pagi Rp. 25.000,-
Makan siang di warung Padang Rp. 28.000,-
Elf Sukabumi – Bogor Rp. 24.000,-
Bis Bogor – Pasar Rebo Rp. 14.000,-
Taksi Pasar Rebo – Rumah Rp. 60.000,-
Total biaya berdua: Rp. 754.000,- saja!
Link to full article
Comments
Post a Comment