Jual-Beli Ijazah Palsu
PENGGEMARNYA SIH TAK MERASA MALU. MEREKA MERASA REALISTIS.
Sungguh bisnis yang berani. Judul halaman situs itu tertulis dalam huruf kapital: “JUAL IJAZAH IJAZAH PALSU ASPAL PELAUT KK KTP TOEFL LIA REKENING BANK BPKB BUKU NIKAH AKTA CERAI AKTA LAHIR AKTA KEMATIAN…” Ada logo PayPal, Visa, dan Master segala. Presensi di internet pun lengkap, ada akun Twitter, Y!M, dan Facebook.
Sang pengelola situs hanya meneruskan apa yang sudah berlangsung dalam masyarakat secara abu-abu, antara jelas dan tidak. Hanya meneruskan tetapi lebih blak-blakan. Ada paket harga. Ijazah asli SMA swasta Rp 10 juta, SMA negeri Rp 15 juta. SMA aspal? Rp 2 juta.
Apa itu aspal? Sebuah contradictio in terminis Indonesia. Asli tapi palsu. Dokumennya secara administratif (bahkan fisik-otentik) benar, tetapi prosedur perolehannya mirip sulap. Serupa pita cukai rokok yang tak dibeli dari negara: pabrik rokoknya tak menyetor pajak tetapi produknya (seolah-olah) legal karena punya banderol.
Sistem, oh sistem
Sebagian peminat produk beginian biasanya punya dalih, “Habis, gimana lagi? Sistemnya gitu. Apa-apa kudu pake ijazah atau sertifikat.”
Oh, sistem! Entah kenapa kata ini gampang diucapkan untuk mewakili sesuatu yang lazim. Bahkan kebiasaan maupun kecenderungan sebuah keluarga pun bisa disebut sistem.
Bukan si “sistem” yang salah. Kualifikasi adalah kebutuhan semua pekerjaan. Kualifikasi penambal ban tak perlu dibuktikan dengan dokumen — yang penting bisa melepas dan menambal ban (lalu memasangnya lagi ke roda). Tetapi kualifikasi minimum seorang sopir angkot harus didukung oleh SIM A Umum. Berbeda dari kernet apalagi “timer“, begitulah.
Bukannya saya merendahkan tukang tambal ban, karena musisi yang hebat tak harus tamatan konservatori dan perupa kampiun tak harus tamatan sekolah seni rupa. Pengukuhan sosial (termasuk oleh pasar) lebih penting karena memang terbuktikan.
Untuk profesi tertentu, syaratnya malah lebih berat. Misalnya dokter, akuntan, dan pengacara (bedakan dari pokrol). Ijazah lulus kuliah saja tak cukup. Harus ada pengukuhan lagi melalui brevet dan sejenisnya. Ada prosedur baku.
Intinya, tak ada yang salah dengan sistem. Syarat itu merupakan keharusan agar ada standar pelayanan dan pertanggungjawaban dari pelakunya. Di situlah asosiasi profesi dan lembaga sertifikasi sangat berperan.
Bagaimana dengan perekrutan karyawan? Hampir sama. Ada syarat minimum. Misalnya sarjana S1, dengan IP minimum, untuk reporter. Apakah ada jaminan bahwa seorang sarjana lebih cerdas daripada seorang yang drop out? Tidak perlu ada jaminan. Ini soal asumsi sosial.
Kalau perekrut tak menentukan syarat minimum, maka siapapun akan mendaftar. Ini akan merepotkan seleksi. Dalam hal ini yang berlaku adalah pengandaian berdasarkan akal sehat: setiap sarjana dapat berpikir bagus dalam arti sistematis dan analitis. Lalu dari banyak sarjana itu masih harus disaring manakah yang paling sesuai dengan kebutuhan pekerjaan khusus.
Ya, umumnya seleksi memang mensyaratkan kompetensi dan menerapkan kompetisi. Kalau hanya mau adu keberuntungan, ikutlah undian tanpa syarat. Atau jadilah si Untung Bebek.
Jalan pintas
Lantas mengapa jual-beli ijazah laku? Ini masalah kemasyarakatan. Ada kecenderungan sebagian orang bahwa gelar itu sangat penting, tetapi konsekuensi dari penguasaan gelar tidak penting. Kulit lebih penting ketimbang isi.
Bukan salah gelarnya, tetapi kesalahan masyarakat dalam memperlakukan gelar. Cenderung berlebihan. Sampai undangan perkawinan pun harus mencantumkan gelar, seolah itu perhelatan akademis — padahal di mata negara (dan agama) perkawinan antarsarjana maupun antar-orang-buta-huruf itu sama.
Hanya kulit, dan bukan isi, pada gilirannya memengaruhi sebagian sektor pekerjaan karena orang-orang di dalamnya berkelindan dengan iklim koruptif. Dalam iklim koruptif apapun bisa dikompromikan, termasuk standar (oksimoronis: baku kok bisa ditawar). Untuk mendapatkan SIM, seseorang tak harus terampil mengemudi dan paham peraturan lalu lintas.
Itulah contoh kompromi. Sebagai koin, formalitas tak punya sisi sebalik bernama esensi. Kalau saya sebut nilai nominal dan intrinsik “gak nyambung”, memang itu berlaku untuk koin pecahan gocap (eh, sudah nggak ada ding ya).
Esensi hanya didapat kalau terbuktikan melalui ujian nyata. Sebagian peraih sertifikat TOEFL melalui situs itu mungkin akan jungkir balik jika harus membuat makalah dan menyajikannya dalam bahasa Inggris. Begitu pula seorang pemesan gelar magister bisnis, mungkin dia akan pusing jika diminta membuat model bisnis yang bisa dipahami calon investor — toh nyatanya dalam kampanye pilkada dan pemilu hal itu tak dipersoalkan oleh konstituen.
Kusut, semakin kusut, lalu pemilu
Akar dari banyak persoalan di republik semprul ini adalah korupsi. Inti korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (yang bisa saja tak berarti memperkaya diri). Dalam padang belukar koruptif, bisnis percaloan yang menghalalkan segala cara adalah anak kandungnya.
Bagaimana mengatasinya? Saya bukan ahli. Tanyakan saja kepada setiap calon legislator pada kampanye pemilu mendatang. Tanyakan juga kepada setiap kandidat wali kota dan bupati dalam setiap pilkada(l).
Kalau mereka bukan penempuh jalan pintas pasti bisa menjawab. Hanya menjawab lho, bukan berikrar akan mematahkan lingkaran setan ini.
Nota:
Saya tertarik untuk pesen rekening palsu. Penting banget ini. :)
Link to full article
Comments
Post a Comment