Revolusi Pecas Ndahe
Seorang perempuan. Sebuah tas Hermes di tangan. Sore itu aku menemuinya di sebuah kafe kecil di jantung Jakarta. Hujan turun berderai-derai di luar. Jalanan macet. Seperti biasa.
Duduk di depanku dengan takzim, ia memamerkan senyumnya yang ringkas. Parasnya lesi. Aku maklum. Dia hidup dari satu tekanan ke tekanan lain. Dari sebuah kekuasaan ke kekuasaan berikutnya. Ia terhimpit.
Seperti biasa, sore itu ada dua cangkir kopi di atas meja. Satu kopi tubruk untukku. Satu cappucino kesukaannya.
Dua cangkir kopi. Dua manusia. Bumi dan langit. Tiba-tiba aku merasa yang namanya iba itu bisa datang dari mana saja. Ia kerap muncul begitu saja tanpa sebab yang jelas. Paling tidak demikian yang kurasakan sore itu.
Ia bahkan bisa datang dari secangkir kopi. Seorang teman. Dan beberapa butir air mata yang bergulir perlahan di pipi.
“Maaf, kadang aku masih cengeng, Mas,” katanya perlahan. “Kamu nggak usah ketawa.”
Mukaku datar. Pura-pura tak mendengar.
Perempuan itu melanjutkan kata-katanya. Aku hampir berhenti dan tak meneruskan jalanku, Mas. Aku ingin mundur karena tak tahan. Aku hendak menafikan orang lain dan menuruti keinginanku sendiri. Kebahagiaanku. Ketakutanku. Tak salah kan? Toh, aku berhak. Tidak melanggar hukum agama dan undang undang negara.”
Aku menyesap kopiku. Barista kafe ini tampaknya meracik kopi dengan keterampilan tingkat dewa. Kesempurnaan racikannya terasa dari setiap sesapan.
Kami terus bercakap. Tepatnya dia lebih banyak bercerita dan aku mendengar. Mulutnya tak henti menuturkan banyak hal. Tentang teman-temannya. Relasi perempuan dan laki-laki, pekerjaannya, perjalanannya, kegagalannya, dan ketakutannya.
Aku heran sore itu hanya ada rasa nyaman. Mungkin pengaruh blus pink terang yang dia kenakan. Mungkin dia baru membelinya dari sebuah butik di Milan. Entahlah…
Hanya satu setengah jam kami berjumpa sore itu. Bertukar cerita. Setelah itu, dia menghilang di antara lautan pengunjung mal yang bergegas dengan lekas.
Malamnya, sebuah surat elektronik masuk ke telepon genggamku. Dari dia.
“Politik memang dunia orang kampret!” begitu bunyi pembukaan suratnya.
Aku mengernyitkan dahi, lalu meneruskan membaca.
“Aku mungkin termasuk salah satu kampret itu. Aku ingin melawan mereka. Libas! Gilas! Sampai mereka menjadi setipis tisu yang diterbangkan angin!
Entah kenapa setiap kali menulis kata tisu aku teringat kamu, Mas.”
Aku tertawa dalam hati.
“…Aku tidak boleh kalah dari orang-orang kampret itu, Mas! Aku bertekat bulat menduduki duduki sarangnya! Menghancurkannya dari dalam! (Ah, aku kejam juga ya ternyata).”
Aku membayangkan benaknya seperti dipenuhi serdadu-serdadu yang siap tempur. Ya ya, aku tahu dari dulu dia menyukai mereka yang berseragam.
“Mas, pada akhirnya aku mengerti alasanku minggir dari hiruk-pikuk kekuasaan. Jengah, tidak tahan, dan patah semangat karena merasa tidak mampu, adalah alasan yang salah untuk berhenti. Dan aku percaya, tanpa alasan berhenti yang tepat, satu pertempuran wajib diteruskan.
Apa aku akan menang, melawan mereka yang mungkin mayoritas?
Akal menghitung. Aku anak baru, mereka berpengalaman. Aku (merasa) sendiri. Mereka berkelompok dan berjejaring.
Aku perempuan. Mereka lebih banyak lelaki. Ah…aku benci!
Ketakutan di atas berhasil kutepis dengan kesadaran penuh bahwa sebagai manusia, toh pada waktunya nanti, aku akan mati.
Tapi kamu tau, yang paling membuatku takut sesungguhnya adalah, dalam upaya melawan kampret kampret, aku kalah, kemudian menyerah, dan menjadi bagian dari mereka. Itu, kekalahan paripurna.
Untuk ketakutanku yang terakhir ini, aku teringat ujaran yang pernah kau katakan dulu: “mukti atau mati!”
Kalah melibas, menjadi terlibas
Kalah menggilas, menjadi tergilas
Kalah menusuk, menjadi tertusukBegitu indahnya kalimat itu bagiku, hingga aku harus meminjam tulisan indah yang kutemukan di jagat maya, dari seorang seniman Sunda yang kebetulan bernama Mukti.
“Memahami mata yang kau pejamkan, adalah pulau yang jauh di ufuk timur…
Matahari … Matahari..
Kita yang masih bertani, berdiri menatap matahari..
Menitip mati … Melumat sepi…
Esok pagi Revolusi!”Kugabungkan kata-katamu dan syair dari Mukti. Ada dua kalimat yang tidak pergi dari pikiranku: “Menitip mati…Melumat sepi. Hidup mulia atau sirna.”
Menulisnya saja, membuat aku terdiam. Semoga diamku berarti, aku meyakini penuh dan senantiasa memegangnya teguh.
Mas, aku harus sudahi surat ini di sini.
Malam telah kian larut,
Esok pagi, revolusi.
Sampai di situ suratnya berakhir. Pikiranku melayang ke Lapangan Merah, Tiananmen, Tahrir, dan teriakan anak-anak muda dengan tangan teracung tinggi: Revolusi!
>> Selamat hari Rabu, Ki Sanak. Apa kabar sampean hari ini?
Filed under: Sketsa Tagged: cinta, politik, relasi
Link to full article
Comments
Post a Comment