Mengembalikan Fitrah Guru sebagai Pencerah Peradaban
(Sebuah refleksi Hari Guru Nasional Tahun 2011)
Meski zaman telah berubah, peran guru agaknya tak akan pernah bergeser dari “fitrah”-nya sebagai pencerah peradaban. Mereka tak hanya sekadar men-transfer ilmu, tetapi juga dituntut agar mampu mengilhami para “cantrik”-nya menjadi generasi masa depan sesuai dengan kebutuhan dan semangat zamannya. Dalam konteks demikian, guru tak bisa berdiri di puncak menara gading kehidupan, tetapi mesti membumi dan “manjing-ajur-ajer” dengan tuntutan perubahan. Ini artinya, guru mesti “tapa ngrame”, berkiprah di tengah-tengah kehidupan secara nyata. Ia tak bisa hidup “soliter” tanpa bersentuhan dengan segenap elemen kehidupan masyarakatnya.
Seiring dengan derap dan dinamika peradaban yang terus bergerak pada pusaran global, peran guru jelas makin sarat tantangan. Selain mesti menghadapi persoalan-persoalan internal yang langsung terkait dengan pengembangan kompetensi diri dan kemaslahatan hidup, guru juga mesti memikirkan langkah-langkah inovatif untuk melahirkan generasi masa dengan yang cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, sosial, dan kinestetik.
Pengembangan kompetensi diri dan kemaslahatan hidup merupakan dua ranah yang saling terkait. Upaya peningkatan kompetensi dan kinerja guru (nyaris) mustahil bisa terwujud apabila tingkat kemaslahatan hidupnya berada pada aras yang rendah. Bagaimana mungkin guru sanggup mengimplementasikan pembelajaran kreatif dan inovatif kalau tak mampu membeli seperangkat komputer atau laptop untuk mengembangkan kompetensi dirinya? Bagaimana seorang guru sanggup mendesain pembelajaran yang aktif, menarik, menyenangkan, dan efektif kalau masih digelayuti beban kegelisahan akibat kegagalannya dalam membangun fondasi kesejahteraan keluarganya secara layak dan memadai? Bagaimana pula seorang guru sanggup menjadi teladan, fasilitator, atau motivator ulung di depan murid-muridnya kalau guru capek dan lelah akibat beratnya rutinitas beban mengajar dan mendidik dalam kesehariannya?
Pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan karena dua hal. Pertama, munculnya wacana untuk menambah beban kerja guru dari 24 jam menjadi 27,5 jam perminggu. Sungguh, tidak bisa saya pahami oleh logika awam saya ketika diskursus ini diluncurkan ke permukaan. Alih-alih 27,5 jam, menunaikan tugas dan beban kerja 24 jam dengan desain pembelajaran yang inovatif, kreatif, dan efektif saja, masih banyak guru yang belum sanggup melakukannya. Guru bukanlah pekerja kantoran yang bisa menunda-nunda pekerjaannya. Ketika jam pelajaran efektif dimulai, kehadiran guru tak bisa tergantikan oleh siapa pun. Mereka berhadapan dengan peserta didik yang memiliki latar belakang kultural, kematangan berpikir, atau tingkat perkembangan jiwa yang beragam. Para murid membutuhkan layanan optimal agar mampu mengembangkan potensi dan jati dirinya. Dalam situasi demikian, guru jelas membutuhkan suasana batin yang segar dan kondisi fisik yang memadai. Proses pembelajaran tak akan pernah sanggup mencapai tujuan seperti yang diharapkan apabila guru terus-menerus merasakan beban kegelisahan akibat kondisi fisik yang lelah. Oleh karena itu, upaya penambahan beban kerja guru menjadi 27,5 jam perminggu hanya akan melahirkan guru-guru “lesu darah” dan kehabisan energi yang akan berdampak pada “lumpuh”-nya aktivitas pembelajaran.
Idealnya, jumlah beban kerja guru maksimal 18 jam per minggu. Dengan jumlah jam tatap muka yang lebih longgar, guru memiliki kesempatan untuk me-“refresh” kondisi fisik dan batin, sehingga bisa lebih optimal dalam mendesain pembelajaran, mengimplementasikan pembelajaran, menilai, menganalisis, dan menindaklanjutinya. Mereka juga akan memiliki peluang dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya, sehingga benar-benar bisa eksis dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembelajaran, baik pada ranah pedagogik, profesional, sosial, maupun kepribadian. Dengan kondisi lahir-batin yang segar dan penuh optimisme, guru akan sanggup melahirkan generasi masa depan yang cerdas, berkarakter, dan berakhlak mulia.
Kedua, disadari atau tidak, kini makin terasa menurunnya apresiasi sebagian kalangan masyarakat terhadap profesi guru. Hal itu tampak jelas dengan munculnya fenomena “kecemburuan sosial” pasca-sertifikasi. Guru yang telah menerima tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok telah dicitrakan sebagai “orang kaya baru” dengan gaya hidup yang berubah drastis. Biasa belanja di mall, punya rumah dan mobil baru, dan berbagai fasilitas hidup serba “wah” lainnya. Sedemikian hebatkah tampilan sosial seorang guru yang telah menerima tunjangan profesi guru, hingga mampu bersaing dengan gaya hidup para koruptor yang biasa “berselingkuh” dengan para mafia peradilan? Sudah demikian menyilaukankah tunjangan profesi itu bagi guru hingga mampu memosisikan dirinya sebagai seorang patron tokoh dalam repertoir “kere munggah bale”?
Saya tidak hendak mengatakan bahwa tunjangan profesi tidak membawa imbas positif terhadap tingkat kemaslahatan hidup seorang guru. Harus diakui tunjangan profesi telah mampu mengangkat kesejahteraan hidup guru dari kubangan keterpinggiran ekonomi yang dari tahun ke tahun tak pernah lepas dari stigma guru “Oemar Bakri”. Guru juga sangat bersyukur kalau pada akhirnya amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 benar-benar dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan. Namun, sungguh naif kalau tunjangan profesi guru dinilai dan dicitrakan telah membuat gaya hidup guru berubah.
Apa pun alasannya upaya serius untuk mengembalikan fitrah guru sebagai pencerah peradaban menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Jangan sampai terjadi, guru terus diposisikan sebagai sosok “Oemar Bakri” yang mesti tersenyum pahit menyaksikan parodi nyinyir murid-muridnya setiap hari di depan pintu gerbang sekolah.
Nah, dirgahayu Guru Indonesia! Selamat berkarya untuk bangsa! ***
Link to full article
Comments
Post a Comment