Reformasi Birokrasi dalam Kepungan Limbah Korupsi

Selasa, 29 November 2011, Korpri genap berusia 40 tahun. Jika dianalogikan dengan perjalanan hidup manusia, usia empat dekade merupakan masa yang penuh kematangan. Dimensi lahiriah dan batiniahnya sudah menyentuh wilayah puncak kedewasaan. Ia tidak lagi gegabah dan sembrono dalam melakukan berbagai aksi, tetapi penuh kewaspadaan dan sarat pertimbangan hingga benar-benar menghasilkan buah kerja yang (nyaris) sempurna. Sikap wisdom dan penuh kearifan benar-benar telah menyatu ke dalam dirinya.

Sebagai pelaku birokrasi, Korpri idealnya tidak lagi mementingkan dirinya sendiri, tetapi benar-benar mampu memberikan pelayanan optimal kepada publik sebagaimana tersirat dalam Kode Etik Panca Prasetya Korpri berikut ini.

PANCA PRASETYA KORPRI
KAMI ANGGOTA KORPS PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA, INSAN YANG BERIMAN DAN BERTAQWA KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA BERJANJI:

  1. SETIA DAN TAAT KEPADA NEGARA KESATUAN DAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945;
  2. MENJUNJUNG TINGGI KEHORMATAN BANGSA DAN NEGARA, SERTA MEMEGANG TEGUH RAHASIA NEGARA;
  3. MENGUTAMAKAN KEPENTINGAN NEGARA DAN MASYARAKAT DI ATAS KEPENTINGAN PRIBADI DAN GOLONGAN;
  4. MEMELIHARA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA SERTA KESETIAKAWANAN KORPS PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA;
  5. MENEGAKKAN KEJUJURAN, KEADILAN, DAN DISIPLIN SERTA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN DAN PROFESIONALISME.

Namun, secara jujur mesti diakui, kiprah Korpri dalam memberikan pelayanan kepada publik belum berlangsung optimal. Grand-desain reformasi birokrasi yang kini melekat dalam Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dinilai masih mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika. Pengabdian tanpa pamrih kepada bangsa dan negara yang menjadi “roh” Korpri dalam berkiprah dan beraksi di tengah publik masih menimbulkan sejumlah tanda tanya. Praktik suap, mark-up anggaran, manipulasi laporan pertanggungjawaban, hingga praktik pungli yang mencederai rasa keadilan masyarakat belum sepenuhnya mampu terbebas dari kepungan limbah korupsi. Yang menyedihkan, pola-pola korup semacam itu konon tidak lagi dilakukan sembunyi-sembunyi, tetapi dilakukan secara terang-terangan dan tanpa rasa malu. Proses rekruitmen CPNS atau kenaikan pangkat/jabatan, misalnya, belum juga bersih dan steril dan modus sogok dan uang pelicin.

Bagaimana mungkin mampu melahirkan pegawai dan pejabat yang bersih dari limbah korupsi kalau dalam proses rekruitmennya sudah sarat dengan kecurangan dan belepotan uang pelicin? Bagaimana mungkin mampu memberikan layanan optimal kepada publik kalau orientasi para aparatnya selalu berlandas tumpu pada konsep untung-rugi seperti dalam dunia bisnis? Bagaimana pula reformasi birokrasi di negeri ini bisa berjalan mulus kalau kaum elite yang seharusnya menjadi “patron” keteladanan justru malah suka pamer kekayaan dengan cara-cara licik dan korup?

Kebobrokan dalam lingkaran birokrasi di negeri ini bisa jadi berawal dari tidak beresnya proses rekruitmen CPNS. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini para pelamar atau pegawai berotak brilian, cerdas, kreatif, dan jujur, (nyaris) tidak mampu menduduki kursi CPNS atau naik jabatan apabila tidak menyediakan segepok uang pelicin. Yang menyedihkan, para “Mr. Clean” yang berada dalam lingkaran birokrasi korup semacam itu justru disingkirkan. Walhasil, birokrasi di negeri ini makin sempoyongan memanggul beban akibat minimnya birokrat berotak cemerlang. Yang selalu dipikirkan adalah mencari cara untuk bisa segera mengembalikan “modal” yang telah dikeluarkan untuk menebus kursi “panas” yang telah didudukinya.

Seperti sebuah lingkaran setan, mata rantai birokrasi yang belepotan limbah korupsi semacam itu tidak akan pernah berhenti pada satu titik selama tidak ada komitmen kuat dari penyelenggara negara untuk mewujudkan pemerintahan yang benar-benar bersih. Sejak dulu, negeri ini suka memutar lagu lama dengan narasi-narasi besar untuk mewujudkan atmosfer birokrasi yang bersih dan anti-KKN. Namun, notasi dan lagunya makin bernada sumbang akibat makin lebarnya kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Masyarakat luas yang sudah lama merindukan praktik birokrasi yang sehat pun kian cuek dan apatis akibat kian kuatnya cengkeraman budaya korup yang kian menggurita.

Memasuki usianya yang ke-40, fenomena praktik birokrasi yang sakit dan sarat anomali semacam itu perlu ditangani secara serius oleh Korpri. Kode Etik Panca Prasetya KORPRI yang mengharapkan segenap anggotanya mampu menempatkan kedudukannya selaku pemikir, perencana, pelaksana, pengendali, dan pengawas dalam tugas-tugas pemerintahan di satu pihak serta sebagai pengayom, pembela keadilan dan pejuang untuk kepentingan anggota, serta panutan bagi masyarakat, mesti benar-benar menjadi “roh” perjuangan Korpri dalam mengendalikan laju birokrasi.

Jangan sampai terjadi, sikap cuek dan apatis masyarakat yang sudah mulai terasa akhirnya benar-benar berada pada titik nadir yang bisa membuat Korpri makin lumpuh dan tak berdaya dalam memberikan pelayanan kepada publik. Sudah amat lama masyarakat merindukan atmosfer birokrasi yang sehat, cepat, dan memuaskan. Jangan sampai ekspektasi masyarakat yang demikian tinggi terhadap layanan birokrasi yang optimal dicederai oleh ulah para birokrat yang sakit dan bebal nuraninya.

Nah, dirgahayu Korpri! ***


Link to full article

Comments

Popular posts from this blog

Kesulitan Startup Hardware